5 Soal Essay dan Jawaban Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Penjajah

Assalammu’alaikum, gimana kabarnya teman-teman? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan sukses ya, pada pembahasan kali ini admin akan memberikan contoh soal essay dan jawaban mengenai perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah. Mudah-mudahan contoh soal essay dan jawaban mengenai perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah ini bermanfaat banyak.

Soal No. 1). Jelaskan perlawanan bangsa Batak terhadap Belanda!

Jawaban:
Perang Batak (1878-1907), adalah perang antara Kerajaan Batak dan Belanda. Perang ini berlangsung 29 tahun. Alasan pecahnya perang ini adalah: Belanda berusaha mewujudkan Pax Netherlandica.

Perang meletus setelah Belanda menempatkan pasukan mereka di Tarutung, dengan tujuan melindungi penyebar agama Kristen yang tergabung dalam Rhijnsnhezending, dengan tokoh penyebar Nommensen (Jerman). Raja Sisingamangaraja XII memutuskan untuk menyerang posisi Belanda di Tarutung. Perang berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara, seperti di Bahal Batu, Siborong-borong, Balige Laguboti dan Lumban Julu.

Pada 1894, Belanda melancarkan serangan untuk mengendalikan Bakkara, pusat posisi dan pemerintahan Kerajaan Batak. Akibat serangan ini, Sisingamangaraja XII terpaksa pindah ke Dairi Pakpak. Pada tahun 1904, pasukan Belanda, di bawah kepemimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah, melanjutkan gerakan mereka ke Tapanuli Utara, sementara di Medan pasukan lain dibawa.

Pada tahun 1907, pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII dan dua anaknya, sementara Sisingamangaraja XII dan pengikutnya berhasil melarikan diri ke hutan Simsim. Dia menolak tawaran untuk menyerah, dan dalam pertempuran pada 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII meninggal bersama putrinya Lopian dan dua putranya Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Kematian Sisingamangaraja XII menandai berakhirnya Perang Batak.

Soal No. 2). Apa latar belakang perang Diponegoro!

Jawaban

a. Pemerintahan Daendels dan Raffles

Perseteruan antara pengadilan Jawa dan Belanda dimulai sejak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada 5 Januari 1808. Meskipun ia hanya bertugas menyiapkan Jawa sebagai dasar pertahanan Prancis melawan Inggris (pada waktu itu Belanda dikontrol oleh Perancis), Daendels juga mengubah tata krama dan memerintahkan upacara lain yang menyebabkan kebencian dari pengadilan Jawa.

Dia memaksa Kraton Yogyakarta untuk memberinya akses ke berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun rute antara Anyer dan Panarukan, hingga akhirnya insiden perdagangan kayu jati di luar negeri (wilayah Jawa di Yogyakarta timur) yang menyebabkan untuk pemberontakan Raden Ronggo.

Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo (1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwana II untuk membayar kerugian perang dan melakukan berbagai penghinaan lainnya yang menyebabkan perselisihan antara keluarga kerajaan (1811). Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belanda.

Meskipun pada awalnya Inggris dipimpin oleh Thomas Stamford Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menginvasi Istana Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II menjadi tidak dihargai dan digantikan oleh putra sulungnya, Sultan Hamengkubuwana III .

Acara ini dikenal sebagai Geger Sepehi. Inggris berkuasa sampai 1815 dan mengembalikan Jawa ke Belanda sesuai dengan isi Perjanjian Wina (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda van der Capellen.

Selama pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III meninggal dan digantikan oleh putranya, saudara tiri Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana IV yang berusia 10 tahun (1814), sementara Paku Alam I menjadi adipati di Puro Kadipaten Pakualaman dan wali Raja sementara Patih Danuredjo III bertindak sebagai wali Raja.

b. Pengangkatan Hamengkubuwana V dan pemerintahan Smissaert

Pada 6 Desember 1822, Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana IV) sangat memohon pemerintah Belanda untuk mengkonfirmasi putra 2 tahun Hamengkubuwana IV menjadi Hamengkubuwana V dan tidak lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali.

Pangeran Diponegoro kemudian diangkat sebagai wali dari keponakannya bersama dengan Mangkubumi. Sebagai putra tertua Hamengkubuwana III, meskipun bukan dari istri resmi (permaisuri), ia merasa sangat terluka dan berpikir untuk bunuh diri karena kecewa.

Pada tahun 1823, singgasana istana yang seharusnya ditempati oleh wali sultan balita itu sebenarnya ditempati oleh Residen Belanda pada waktu itu, yaitu Smissaert, sehingga melukai orang-orang Yogya dan Pangeran Diponegoro, walaupun ada dugaan bahwa Tindakan Smissaert disebabkan oleh dua ratu di atas takhta.

Menyusul pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang melihat petani lokal menderita karena penyalahgunaan tanah oleh warga negara Belanda, Inggris, Prancis dan Jerman, van der Capellen mengeluarkan dekrit pada 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang disewa oleh orang Eropa dan Tiongkok harus dikembalikan kepada pemiliknya pada 31 Januari 1824.

Namun, pemilik tanah diharuskan memberi kompensasi kepada penyewa tanah Eropa. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa milik istana sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang dari Kapitan Cina di Yogyakarta pada waktu itu.

Smissaert berhasil menipu kedua wali sultan untuk memberikan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di Bedoyo, yang membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan istana. Putusnya hubungan ini terutama disebabkan oleh tindakan Ratu Ageng (ibu tiri pangeran) dan Patih Danurejo yang pro-Belanda.

Pada tanggal 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya, di Tegalrejo, untuk membahas kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran Diponegoro bertekad untuk bertarung dengan membatalkan pajak Puwasa sehingga petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.

Soal No. 3). Bagaimana latar belakang perlawanan rakyat Maluku terhadap pemerintah colonial Belanda?

Jawaban:

  • Pemerintah kolonual memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja wajib.
  • Pemerintah colonial memerlakukan tariff hasil bumi yang wajib diserahkan, sedangkan pembayarannya tersendat-sendat.
  • Pemerintah colonial memebrlakukan uang kertas, sedangkan rakyat Maluku telah terbiasa dengan uang logam.
  • Pemerintah colonial menggerakan pemuda Maluku untuk menjadi prajurit Belanda.

Soal No. 4). Jelaskan tentang penyimpangan dari politik etis!

Jawaban
Pada dasarnya kebijakan yang diajukan oleh van Deventer bagus. Namun, dalam pelaksanaannya ada penyimpangan yang dilakukan oleh karyawan Belanda. Ini penyimpangannya.

a. Irigasi

Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.

b. Edukasi

Kerajaan Belanda membina sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan kakitangan pentadbiran kos rendah dan berpatutan. Pendidikan yang terbuka kepada semua warganegara, hanya dikhaskan untuk penjawat awam dan orang berkebolehan. Diskriminasi pendidikan adalah pengajaran di sekolah kelas pertama untuk anak-anak kakitangan awam dan orang kaya, dan di sekolah kelas kedua untuk anak-anak asli dan secara umum.

c. Migrasi

Migrasi ke daerah di luar Jawa hanya diarahkan ke daerah yang dikembangkan oleh perkebunan Belanda. Hal ini disebabkan besarnya permintaan akan tenaga kerja di area perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, terutama di Deli, Suriname dan lainnya. Mereka dijadikan buruh kontrak.

Migrasi ke Lampung memiliki tujuan permanen. Karena migrasi dimaksudkan untuk memenuhi permintaan tenaga kerja, banyak yang sering melarikan diri. Untuk mencegah pekerja melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap oleh polisi, kemudian dikembalikan ke mandor / pengawas mereka. Penyimpangan politik etis terjadi karena kepentingan Belanda pada rakyat Indonesia.

Soal No. 5). Mengapa rakyat Ternate bangkit menentang Portugis?

Jawaban:
Karena tindakan Portugis yang telah melampaui batas. Apalagi setelah kaki tangan Portugis menikam Sultan Hairu hingga mati. Pada saat itu Sultan Hairun memasuki benteng untuk merayakan perjanjian damai yang disepakati. Dengan wafatnya Sultan Hairun, sejak 1570 orang-orang Ternate memblokir kegiatan orang-orang Portugis yang dijalankan di benteng.

Scroll to Top