Bagaimana Sejarah Sistem Pemerintahan Kerajaan Majapahit
Sistem pemerintahan kerajaan Majapahit adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan kekuasaan negara. Suatu sistem negara dikembangkan berdasarkan konsep kekuasaan yang dianut oleh suatu negara itu. Negara-negara demokratis akan berkembang di mana rakyat dapat berpartisipasi dalam membuat keputusan publik.
Sistem pemerintahan Majapahit dikembangkan berdasarkan konsepsi kosmologis. Berdasarkan konsepsi Majapahit dianggap sebagai reflika alam semesta dan Raja Majapahit identik dengan dewa tertinggi yang berdiam di atas Mahameru.
Wilayah Majapahit yang terdiri dari negara-negara wilayah tersebut digambarkan sebagai tempat tinggal para dewa Lokapala yang terletak di empat angin. Jawa dianggap sebagai pusat sedangkan Madura dan Tanjongpura digambarkan sebagai angsa-angsa (kendaraan dewa).
Raja dianggap sebagai inkarnasi dewa di dunia yang memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kekuasaan. Raja Majapahit memiliki kekuasaan absolut seorang raja yang memegang tiga kekuasaan sekaligus, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Wilayah Majapahit meliputi hampir seluruh kepulauan ditambah semenanjung Malaya dalam arti sekarang.
Pusat pemerintahan kerajaan Majapahit
Kekuasaan pemerintah pusat Kerajaan Majapahit dipegang oleh Prabu / raja. Posisi ini biasanya diwarisi dari kedua orang tua kecuali para pendiri dinasti yang harus berjuang untuk mendapatkan kekuatan itu. Raja Hayam Wuruk dari raja Majapahit turun dari yang ketiga, Tribhuwana Tunggadewi yang merupakan putri pendiri kerajaan Majapahit Sri Kertarajasa Jayawarddhana.
Dalam menjalankan kekuasaan raja didampingi oleh Bhattara Saptaprabhu atau Pahom Narendra yang merupakan dewan konsultatif tertinggi kerajaan yang terdiri dari kerabat raja. Bhattara Saptaprabhu bersidang untuk membahas hal-hal yang penting bagi kerajaan. Dewan harus bersidang sering mengingat banyak hal penting seperti pemberontakan dan pembangunan tempat suci pada masa Majapahit, tetapi informasi terserah kepada kita hanya sedikit.
11 kerajaan regional Majapahit
Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit dibagi menjadi 11 kerajaan regional (di Jawa) dan lima wilayah luar negeri. Wilayahnya adalah:
- Daha diperintah oleh Bhre Daha atau Dyah Wiyah Sri Rajadewi
- Wengker diperintah oleh Bhre Wengker Sri Wijayarajasa,
- Matahun diperintah oleh Bhre Matahun Rajasa Wardhana
- Lasem diperintah oleh Bhre Lasem
- Pajang diperintah oleh Bhre Pajang
- Paguhan diperintah oleh Bhre Paguhan Sri Singawardhana
- Kahuripan diperintah oleh Bhre Kahuripan, Tribhuwana Tunggadewi
- Singasari diperintah oleh Bhre Singasari, Kertawardhana
- Mataram diperintah oleh Bhre Mataram Wikramawardhana
- Wirabhumi diperintah oleh Bhre
- Pawanuhan diperintah oleh Bhre Pawanuhan Puteri Surawardhani. Sedangkan yang disebut daerah asing sesuai dengan nama kiblat yaitu timur, barat, utara, selatan dan tengah. Masing-masing di perintah oleh motif Juruselamat
Sebelas kerajaan regional di atas berada di Jawa dan diperintah oleh kerabat raja. Baik untuk menjamin kesetiaan pada area pusat tenaga. Untuk daerah di luar negeri (di luar Jawa) kekuatan otoritas lokal masih dipegang oleh otoritas lokal. Untuk menunjukkan pengakuan atas kekuasaan Majapahit pusat, mereka mengirim upeti dan pajak.
Struktur pemerintahan kerajaan di daerah ini hampir sama dengan struktur pemerintahan pusat Pada masa Majapahit penguasa daerah ini berada di Jawa menggunakan gelar Bhre yang kemudian mengikuti nama domisili. Misalnya Bhre Singasari berarti penguasa di daerah Singosari. Wilayah birokrasi kerajaan juga dilengkapi dengan adipati dan tanda (karyawan).
Tugas adipati
Tugas utama sang adipati adalah 1. Melaksanakan sejumlah layanan kepada raja saat ini tidak ada pernikahan di istana, 2. Mengambil layanan di tempat-tempat suci setiap tahun untuk keselamatan raja. 3. Melindungi keselamatan rakyat. Wilayah wilayah Raja dibagi menjadi beberapa tingkatan. Otoritas lokal (Bhre) mengawasi petugas, petugas mengawasi perusahaan, dan pembeli mengawasi rama (desa)
Pemungutan pajak pada masa kerajaan Majapahit
Untuk menjalankan roda pemerintahan, kerajaan memiliki wewenang untuk memungut pajak. Jenis penarikan pajak termasuk pajak properti / tanaman, pajak perdagangan, kerajinan pajak bisnis, denda untuk semua pelanggaran di drop pengadilan. Selain itu raja juga berhak atas gawal / aji membuat jenis persembahan kepada raja dalam bentuk tidak pajak. Pejabat di pemungut pajak di era Majapahit menyebut Nayaka dan Pratyaya yang berarti pemimpin dan orang kepercayaannya.
Pada zaman yang lebih kuno para pemungut paja ini disebut Pangkur, Tawan, tirip dan raja pelayan tambahan yang disebut Manilala Drawya haji. Daerah itu disebut Sima dibebaskan dari pajak atas perintah panen raja tetapi masih membebani kerajinan dan perdagangan. Proses pengumpulan pajak di tingkat desa dilakukan oleh Rama.
Setelah jumlah tersebut ditentukan oleh Nayaka dan Pratyaya dan setelah Rama mengambil bagian pajaknya di setorkan ke bosnya untuk tiba di daerah penguasa kerajaan (Bhre), dan pemerintah setempat membayar pajak tepat waktu Pisowanan Ageng di pusat pengadilan pada bulan September -Oktober atau Oktober-November.
Perpajakan untuk daerah di luar Jawa aktif. Ketika pembayaran pajak dan upeti tiba, Raja mengirim Bujangga dan Mantri ke daerah-daerah taklukan untuk mengumpulkan pajak. Bujangga dan Mantri yang dikirim untuk memungut pajak dilarang mencari keuntungan atau perdagangan sendiri.
Sebagai gantinya mereka menerima mandat untuk meningkatkan pengajaran agama Siwa agar tidak menyimpang dari yang seharusnya di mana pun mereka layani. Sistem pemungutan pajak pada masa Kerajaan Majapahit selain memiliki ikatan sosio-ekonomi dan agama juga dimaksudkan untuk menjaga hubungan raja dan bawahannya sehingga kesatuan negara tetap terjaga.
Legislasi kerajaan Majapahit
Legislasi di Majapahit disebut Kutara Manawa atau agama. Isi undang-undang ini sebagian besar adalah hukum pidana (kejahatan) dan sedikit hukum perdata seperti perdagangan, Warisan, perkawinan dan perceraian. Pada masa Majapahit antara hukum pidana dan hukum sipil belum dipisahkan.
Semua keputusan yang dibuat di pengadilan atas nama raja disebut Amurwabhumi (yang mengendalikan Negara). Dalam menjalankan fungsi ini Raja Kehakiman dibantu oleh dua orang Dharmadhyaksa yaitu seorang Dharmadhyaksa Kasaiwan / kepala agama Hindu dan seorang Dharmadhyaksa kasogatan / Kepala agama Budha.
Dalam menjalankan tugasnya, Dharmadhyaksa dibantu oleh Upapatti (Pembantu di pengadilan). Dalam beberapa piagam, Upapatti juga disebut Pamegat atau Pamegat / sang pemtus atau hakim.